My adventure, my vision, my confession.

Es Pisang Ijo dan Adik-Adik Saya




Saya adalah seorang mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua. Saya berkuliah di ibukota Indonesia, Jakarta, sedangkan keluarga saya tinggal di provinsi Jawa Tengah, tepatnya di kota Semarang. Saya memiliki dua orang adik perempuan bernama Elin dan Elinna. Hal terberat bagi saya saat memutuskan untuk merantau ke ibukota mungkin adalah meninggalkan kedua adik kecil saya ini. Saya begitu mengkhawatirkan banyak hal mengenai mereka yang menurut orang-orang sebenarnya tidak terlalu penting seperti misalnya bagaimana bila ada yang mengganggu adik saya atau bagaimana bila Ibu berhalangan untuk menjemput adik di sekolah. 

Jarak antara Jakarta-Semarang dapat ditempuh sekitar sepuluh jam dengan menggunakan mobil. Paling cepat satu jam dengan pesawat yang tentunya memakan biaya perjalanan yang tidak murah. Ditambah dengan jadwal kampus saya yang dapat dikatakan cukup ketat dan berbagai kesibukan lainnya, saya hanya dapat pulang ke Semarang setiap liburan setelah Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), atau libur nasional yang masing-masing panjangnya rata-rata adalah satu minggu. Satu minggu ini tentunya adalah momen yang sangat berharga untuk saya. Satu minggu yang saya alokasikan khusus untuk pulang ke Semarang dan berkumpul bersama keluarga. 

1 Januari 2012 lalu, saya dengan keluarga pergi ke Mall Ciputra, Semarang, untuk makan siang bersama sekaligus merayakan pergantian tahun yang baru ini. Kami memilih untuk makan di pujasera agar kami dapat memilih menu makan sesuai dengan selera kami masing-masing. Saat menunggu pesanan diantar, mata saya tergoda dengan sebuah stan kuliner khas Sulawesi. Dari meja tempat kami akan makan, saya membaca satu per satu menu yang dijual. Saat itu lah saya menemukan menu ini ‘Es Pisang Ijo’. 

Es pisang ijo adalah salah satu hidangan khas Sulawesi, tepatnya Makassar. Es ini terdiri dari pisang yang dibungkus dengan kulit dari tepung terigu yang diberi warna hijau, bubur fla, kacang sangrai, es serut dan sirup berwarna merah. Rasanya manis dan sangat menyegarkan. Di kampus saya sendiri, es pisang ijo adalah salah satu jajanan yang cukup populer dan digemari. Mengetahui bahwa adik-adik saya belum pernah mencicipi, saya menjadi tergoda untuk memamerkan salah satu ‘makanan gaul’ anak kos ini. 

Keluarga saya termasuk keluarga yang berkecukupan. Namun pada hari itu, saya menolak uang dari Bapak saya dengan alasan ingin sesekali mentraktir adik-adik saya dengan uang simpanan saya sendiri. Karena Bapak dan Ibu saya tidak terlalu suka makanan manis, saya hanya memesan tiga mangkok es pisang ijo masing-masing untuk adik saya dan saya. 

Es pisang ijo pesanan kami siap dalam jangka waktu kurang dari lima menit. Begitu tiba, saya tersenyum melihat ekspresi adik-adik saya yang agak ragu dengan hidangan berwarna putih-merah-hijau yang ada di hadapan mereka. Saya mulai menyendok es pisang ijo milik saya. Kedua adik saya pun mengikuti. Dalam suapan pertama, ekspresi mereka berdua mendadak berubah menjadi semangat untuk melahap es pisang ijo milik mereka. Saya tertawa melihat binar-binar di mata mereka berdua. “Kalian kok ndeso banget, sih. Hehehe,” canda saya. Kedua adik saya hanyamesem dan melanjutkan untuk memakan. Pada saat melihat keceriaan adik-adik saya saat memakan es pisang ijo milik mereka, saya merasakan sebuah kehangatan dalam dada saya. Saya sangat terharu melihat bagaimana traktiran kecil saya ini dapat membuat kedua adik saya tersenyum. Saya sangat bahagia saat melihat kedua adik saya bahagia. 

Saking sibuknya memerhatikan adik-adik saya makan, saya tidak sadar bahwa es pisang ijo milik saya sendiri bahkan belum habis setengahnya ketika kedua adik saya sudah menyelesaikan suapan terakhir mereka. Biasanya, bahkan ketika saya sudah SMA, saya terkadang masih berebut makanan dengan adik-adik saya. Entahngambek karena adik saya mendapatkan potongan kue yang saya rasa lebih besar daripada milik saya, atau hal lainnya yang dewasa ini saya fikir ternyata tidak penting sekali. Tapi siang itu berbeda. Ketika melihat adik saya melirik-lirik es pisang ijo saya dengan penuh minat, saya tersenyum dan bertanya apakah mereka ingin es pisang ijo lagi. Mereka mengangguk. Setelah menyendok satu suap fla, saya geser mangkuk saya ke mereka dengan syarat es pisang ijo ini harus mereka bagi dua. Rasangambek dan iri yang biasanya saya rasakan, kali itu tidak saya rasakan sama sekali. Yang saya rasakan hanyalah rasa bangga dan rasa syukur karena saya dapat membahagiakan harta saya yang paling berharga. Mungkin perasaan seperti inilah yang membuat orang tua saya tidak pernah lupa membawa oleh-oleh saat pulang dari dinas atau ketika sedang berada entah di mana yang mereka tahu putri-putri mereka akan senang bila berada di tempat tersebut. 

Lewat es pisang ijo, saya menjadi lebih faham tentang makna berbagi dan makna keluarga. Saya lebih memahami makna ketulusan dan saling mengasihi. Setiap kali melihat warung yang menjajakan es pisang ijo, saya menjadi teringat dengan tujuan saya menempuh ilmu di Jakarta ini: Suatu saat ketika sudah bekerja nanti, saya ingin membiayai pendidikan adik-adik saya dengan uang saya sendiri. Saya ingin membantu orang tua saya sekaligus membantu adik-adik saya untuk meraih impian mereka. Semangat saya yang sedang redup pun akan menyala kembali. Saya menjadi sangat bersemangat. Ketika memakan es pisang ijo, rasa kangen saya terhadap adik-adik saya dan Bapak-Ibu menjadi sedikit terobati. Karena es pisang ijo pula, saya semakin rajin untuk menyisihkan uang yang saya miliki, entah uang bulanan dari Bapak-Ibu, uang hasil mengajar les, atau mengisi acara kampus, untuk tabungan masa depan sekalian ‘traktiran-traktiran kecil’ untuk keluarga saya saat saya sedang liburan. 

Terima kasih, es pisang ijo!

Elna Lalita

(Jakarta, Juni 2012)

Be First to Post Comment !
Post a Comment

Custom Post Signature

Custom Post  Signature