My adventure, my vision, my confession.

Surat dari Jelangkung

Pada suatu malam saya melihat dua amplop kembar di kotak surat kantor: buat saya dan buat Sahal, kolega saya yang lucu itu. Tentu saya buka yang punya saya. Empat lembar kertas bertanggal 20 Suro 1453 Saka. Wah, saya sedikit kurang pandai menghitung di luar kalender Masehi. Tanggal itu--terutama angka 1453 Saka--seperti mengantar saya masuk ke waktu Mpu Gandring. Padahal ini kira-kira bulan April di zaman merdeka.
Surat itu berkop INSTUPA, yang adalah Institut Supranatural Sangkan Paran, sebuah lembaga yang tak terpikirkan. Pengirimnya adalah sang ketua umum, bernama Edi Jelangkung, MAG--MAG barangkali singkatan dari Master Alam Gaib. Ia menorehkan tandatangannya pada secarik kecil kain kafan. Hii, ngeri juga saya.
Maka, saya baca surat itu. INSTUPA didirikan oleh YAMUS, yaitu Yayasan Ngelmu Sejati, juga lembaga yang, kalaupun ada, tidak pernah bersentuhan dengan saya. Mereka merencanakan membuat perguruan tinggi kebatinan pertama yang bertaraf internasional di Semarang. Dan berdasarkan "terawangan batin" yang mereka lakukan, nama saya (berarti juga nama Sahal) termasuk dalam calon yang memenuhi syarat untuk diseleksi. Kami akan diwawancarai melalui semadi pada malam Jumat Kliwon 1 Mulud, dan apakah kami diterima jadi asisten dosen akan dikirim lewat mimpi atau wangsit.
Entah jin mana yang mengusulkan nama saya pada mereka. Sial betul! Saya pastilah merasa tak mampu. Apalagi, membaca fasilitas pendidikan dan kurikulumnya. Coba, fasilitas pendidikannya antara lain: istana Nyi Ratu Kidul, laboraturium kuburan wingit, ruang semadi, akses langsung ke arwah leluhur. Saya khawatir jika menggunakan sarana itu saya tak bisa balik. Ke istana Nyi Roro Kidul? Maturnuwun. Berenang saja saya tak mau menyelam. Lantas, kurikulumnya: Antropologi Makhluk Gaib, Teori Arwah Gentayangan, Statistik Makhluk Halus 1 dan 2, Metodologi Santet, Analisa Eksistensi Jin, Seminar Santet, Sistem Perbandingan Guna-Guna, Kuliah Kerja Keramat, dan sejenisnya yang membuat saya kepingin kencing.
Perut saya makin mulas membaca nama-nama pengampu utamanya: Edy Jelangkung, Dr. Roni Jrangkong, Joko Gosong Samber Bledhek, Prof. Bobohobo, Antinton Hilman (wah, maaf, yang ini kedengarannya kok seperti anak gaul yang mengeja nama mendiang pengajar bahasa Inggris Anton Hilman? Apalagi Antinton yang ini akan mengajar bahasa mantra).

***

Saat itu kira-kira pukul 10 malam dan saya sendirian. Segera saya telepon Sahal. (Handponnya pernah kecemplung di got, tapi sekarang sudah beres.)
"Gawat, Hal!" kata saya. "Kita dapat surat dari Jelangkung."
Yang celaka, ada tertulis: "Surat ini harus diserahkan kembali kepada kami dengan meletakkan di kuburan terdekat (sertakan sobekan kain kafan, minyak jakfaron, kembang telon, dan kemenyan madu)." Konon, kurir mereka akan mengambil surat itu secara gaib. Tapi Sahal lagi di rumah Mas Goen dan dia hanya tertawa-tawa, tak memperhatikan cerita saya.
Sendirianlah saya. Merenung, haruskah saya mengirim kembali surat itu. Betapa repot: harus ke Tanah Abang yang penuh copet beli minyak jakfaron (kalau mau murah), berbagi kain kafan dengan Sahal, dan ke kuburan. Tapi kalau tidak saya kirim, apakah mereka akan menagihnya secara gaib?
Saya putuskan untuk pulang saja, meninggalkan surat Jelangkung di meja kantor. Saya tidak mau membuangnya. Barangkali karena takut kualat, padahal siapa tahu itu cuma tipuan April Mob yang datang telat. Atau sebetulnya saya ngeri-ngeri senang dengan yang gaib-gaib atau ganjil-ganjil. Misterius, gitu, bikin keri seputar udel. Saya menyimpan surat itu, seperti saya menyimpan sepucuk surat ganjil yang pernah saya terima tak lama setelah saya menerbitkan Saman. Pengirimnya pernah menelepon dan bilang pada teman saya bahwa ia akan menikah dengan saya. Penggemar? Gak juga, sebab ketika berpapasan, dia ternyata tidak mengenali saya. Dia bilang pada kawan saya, berita itu (pernikahan kami) harus dirahasiakan sebab dia adalah anggota Rolling Stone. Ia mengawali suratnya dengan kalimat ini: "Kuwalat, karena telepon 108 merahasiakan nomer telepon mantan Presiden Soeharto maka perkenankanlah saya menulis." Dan mengakhiri dengan "ubun-ubun saya sakit."
Sesungguhnya saya tak boleh ge'er. Surat itu pun tak persis ditujukan untuk saya, sebab dia menulis sederet nama: Nicky Astria, Andi Mariam Matalatta, Lala Aminah Cendrakasih, Ayu Utami, Soeharto. Itu mungkin kali pertama nama saya ditulis berdampingan dengan nama Pak Harto. Apapun, saya suka menyimpan surat ganjil semacam itu. Pukul 12 malam barulah Sahal datang ke kantor dan membuka surat itu sendirian. konon, setelah tengah malam gelombang manusia dan roh halus lebih gampang bertemu. Tentu dia lebih takut daripada saya tadi.


Si Parasit Lajang
@BilanganFu

Custom Post Signature

Custom Post  Signature